TTU |BELUPOS.Com)-Desa Pantae, Biboki Selatan, Kabupaten TTU, kembali menyuarakan kegelisahan yang lama dipendam. Di ujung selatan TTU yang tenang, sebuah pertanyaan sederhana menggema: mengapa ruang bermain anak-anak harus tumbang demi sebuah gedung yang manfaatnya belum jelas?
Kegelisahan itu datang dari seorang warga, Bernard Usfinit, yang menyuarakan unek-uneknya mewakili masyarakat Desa Pantae dalam pesan terbuka untuk Bupati TTU.
“Kami menyadari tidak elok menyampaikan lewat medsos, tapi persoalan ini tidak menuntut kita bertemu langsung. Semoga Pa Bupati memberi perhatian,” tulis Bernard dalam pesannya.
Gerai KDMP dan Sebuah Lapangan yang Hilang
Bernath Usfinit mempertanyakan mekanisme pembangunan Gedung Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) yang kini digencarkan di seluruh desa dengan kendali TNI. Babinsa turun membawa meteran, mengukur lahan, dan memberi tenggat: tiga bulan—November hingga Januari—gedung harus berdiri.
Masalahnya, Desa Pantae tidak memiliki lahan kosong.
Yang tersedia hanyalah lapangan futsal—dibangun dari Dana Desa, berdiri dari gotong-royong, dan menjadi satu-satunya ruang bagi anak-anak untuk mengembangkan bakat olahraga.
Lapangan itu kini digusur.
“Apa lapangan futsal ini tidak penting? Apa bangunan ini tidak menggunakan Dana Desa? Mengapa dirusak hanya untuk bangun gedung megah yang asas manfaatnya belum jelas?” ujar Bernard.
Ia menegaskan bahwa masyarakat bukan menolak pembangunan gerai KDMP. Mereka hanya meminta keadilan paling sederhana: jangan merusak fasilitas publik yang sudah memberi manfaat luas.
Menyoal Aturan dan Akal Sehat
Bernath menyinggung Perpres 17 Tahun 2025 tentang penguatan ekonomi desa melalui KDMP. Dalam aturan itu, katanya, tidak ada penjelasan soal pembebasan atau pembelian lahan.
Karena itu, Pemerintah Desa seharusnya diberi ruang mencari solusi—bukan didesak mengambil langkah yang bertabrakan dengan kondisi nyata di lapangan.
“Hanya karena perintah atasan, TNI mengambil langkah yang bertolak belakang dengan keadaan di desa,” tulisnya.
Bernard Usfinit juga mengingatkan pernyataan Bupati TTU tentang peninjauan ulang pembangunan desa tahun-tahun sebelumnya. Jika inspektorat turun, katanya, bagaimana menjelaskan bahwa bangunan yang pernah berdiri kini sudah hilang?
Permohonan dari Pantae
Pesan Bernard ditutup dengan nada yang lembut namun tegas—suara masyarakat yang ingin didengar tanpa harus berkonflik.
“Kami mohon Pa Bupati berkoordinasi dengan pihak TNI agar persoalan ini diperhatikan, supaya tidak menyebar ke desa lain.”ujar Bernad Usfinit.
Di Pantae, suara itu bukan sekadar protes. Ia adalah ajakan untuk menjaga nalar, menjaga ruang publik, dan menjaga masa depan anak-anak yang menggantungkan harapan pada lapangan kecil tempat mereka tumbuh.
Lapangan yang kini digusur, dan suara warga yang tak ingin ikut-ikut digusur.















